Oleh:
Anggi Perdana, S.Pd.Gr.
(SMAN 1 Bintan Pesisir)
Pada Pasal 1 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa “Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Tugas
guru sangatlah mulia, ia mendidik peserta didiknya penuh dengan kesabaran,
ketulusan, dan penuh kasih sayang dalam menjalani profesinya. Sudah sepatutnya
kita semua memberikan apresiasi pada mereka, begitupun dengan pemerintah yang
wajib memberikan perlindungan terhadap profesi guru.
Melalui beberapa peraturan
yang sudah dibuat oleh pemerintah dengan diterbitkannya UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008
tentang Guru, dan Permendikbud No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi
Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah bukti bahwa adanya upaya pemerintah
untuk memberikan perlindungan terhadap profesi guru. Dengan adanya payung hukum
tersebut, harapannya dapat memberikan rasa aman bagi para guru dalam menjalani
profesinya sehingga terhindar dari segala ancaman maupu tindakan kekerasan
lainnya.
Pada kenyataannya, masih nampak adanya kasus
yang telah terjadi dimana seorang guru menjadi objek kekerasan dan bulliying baik oleh peserta didik maupun
orang tua peserta didiknya. Bahkan lebih dari itu, ada guru yang sampai tewas
akibat dianiaya oleh siswanya sendiri seperti yang dialami oleh Pak Ahmad Budi
Cahyono. Kasus lain menimpa juga pada Pak Joko yang sempat dijadikan sebagai
bahan becandaan oleh sejumlah murid laki-lakinya. Ada juga guru yang sampai
dilaporkan ke pihak berwajib lantaran mencubit dan memotong rambut siswanya.
Meski pada akhirnya guru yang bersangkutan pun dinyatakan bebas tidak bersalah
karena apa yang dilakukannya bukannlah tindakan kriminal dan semata-mata hanya
untuk menertibkan serta mendisiplinkan peserta didiknya.
Melihat beberapa kasus di
atas sekiranya dapat dijadikan pelajaran bagi para guru untuk selalu
berhati-hati dalam mengambil sebuah tindakan ataupun memberikan sanksi pada peserta
didiknya. Terlebih lagi, ada UU Perlindungan Anak yang acapkali dijadikan
sebagai dasar hukum untuk melaporkan guru yang diduga telah melakukan kekerasan
pada peserta didiknya. Secara yuridis, perlindungan terhadap profesi guru
memang sudah ada. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2015 tentang
Guru dan Dosen, Pasal 39 ayat (1) menegaskan bahwa “Pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib
memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.” Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal 40 ayat (1) menegaskan bahwa “Guru
berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman
dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan,
organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan
masing-masing”. Selain itu, Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang
Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan memperkuat posisi guru dalam
menjalankan tugas profesinya. Pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi
kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru,
peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam
proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.”
Meski begitu, tetap saja
dalam mendidik seorang guru tidak dibenarkan melakukan tindakan kekerasan yang berakibat
fisik pada peserta didik dengan alasan apapun. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 ayat (2) Permendikbud
Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, “Sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan,
baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan
kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.” Ini yang
harus dipahami oleh para guru, bahwasanya dalam memberikan sanksi
kepada peserta didik tidak harus dengan bentuk kekerasan fisik tapi berikan hukuman
yang bersifat mendidik. Selain itu, untuk menghindari kemungkinan terjadinya
peristiwa serupa di kemudian hari kiranya perlu bagi para pendidik untuk
menguasai keempat kompetensinya sebagai seorang guru profesional.
Adapun keempat kompetensi
tersebut meliputi; pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Dengan
menguasai kompetensi pedagogik, seorang guru akan mampu untuk memahami potensi
yang dimiliki oleh setiap peserta didiknya. Seorang guru akan memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia, dan
menjadi tauladan bagi para peserta didiknya pabila ia mampu menguasai
kompetensi kepribadiannya. Adanya komunikasi dan interaksi yang baik dengan
lingkungan (peserta didik, sesama pendidik/tenaga kependidikan, wali peserta
didik, dan masyarakat sekitar) akan nampak jika seorang guru sudah benar-benar
menguasai kompetensi sosialnya. Sedangkan bagi guru yang sudah mampu menguasai
kompetensi profesionalnya, maka ia akan mampu menguasai substansi keilmuannya
secara mendalam. Dengan menguasai keempat kompetensi tersebut secara utuh dan
memahami segala peraturan yang ada, maka tidak akan terjadi lagi adanya
tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Proses pembelajaran akan selalu
kondusif dan aman, interaksi antara guru dengan orang tua peserta didik akan
terjalin harmonis, dan yang terpenting akan tercapainya tujuan pendidikan
Indonesia sebagaimana yang telah dicita-citakan dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yakni
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mari maju bersama mencerdaskan Indonesia,
salam MBMI.
0 Response to "BUKAN PERATURANNYA YANG MANDUL TAPI KOMPETENSI GURUNYA YANG MASIH BELUM MANTUL"
Post a Comment