SM-3T ini merupakan salah satu program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia ditujukan kepada para Sarjana Pendidik yang belum bertugas sebagai guru untuk ditugaskan selama satu tahun di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Program MBMI merupakan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka mempercepat pembangunan pendidikan di daerah-daerah 3T.
Ada 3 tahapan seleksi yang harus dilauli oleh ribuan peserta SM-3T, meliputi; pemberkasn atau administrasi, tes akademik (online di LPTK), wawancara, dan prakondisi ala militer selama 10 hari (AAU, AAD, AAL).
Pada tahun 2013 lalu, saya memutuskan untuk mengikuti serangkaian tahapan tersebut dan berhasil lolos menjadi bagian dari program SM-3T angkatan III dari LPTK UNY. Kabupaten Ngada, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah daerah dimana saya ditempat tugaskan bersama ke-48 rekan lainnya. Tepatnya di SMP Negeri Satu Atap 1 Riung Barat, Dusun Tedhing, Desa Lanamai, Kecamatan Riung Barat.
Menurut banyak orang yang ada di pusat kota Kabupaten Ngada, mereka melabeli Tedhing sebagai dusun paling udik dan plosok. Memang tidak salah jika mereka menyatakan demikian, karena apa yang saya rasakan selama satu tahun disana demikian adanya. Jarak dari pusat kota (Bajawa) ke Tedhing sekitar 65 km atau dapat ditempuh dalam waktu 5-6 jam jika menggunakan ‘otto’.
Otto adalah alat transportasi modifikasi dari mobil truk. Otto yang lewat di tempat tugas saya ini hanya ada 2 yakni bentara dan sumber harapan (saat itu). Keduanya beroperasi bersamaan, berangkat dari Tedhing pukul 04.00 WITA sampai di Bajawa pukul 09.00 WITA. Dari kota kembali pukul 14.00 WITA sampai Tedhing pukul 19.00 WITA. Ini kalau lancar, kadang ditengah jalan ada saja kendalanya, seperti ban bocor, cuaca ekstrem, terpelrosok, terselip, bahkan terbalik. Inilah ancaman bahaya yang kadang kerap kali menghantui saya kalau mau ke kota (sholat Jum’at, tugas dinas, berbelanja, rapat) menggunakan otto. Kondisi jalan yang rusak, berlumpur, berbatu, dan licin saat hujan, ditambah dengan demografi daerahnya yang perbukitan membuat sopir otto harus lihai dalam mengendarainya. Terlebih kalau muatannya berlebih, karena tidak hanya manusia yang diangkut di otto tapi juga kayu, material, dan hewan (ayam dan babi). Dapat dibayangkan bukan, bagaimana rasanya naik otto dikala penumpang dan muatan penuh.
Selain lokasinya yang jauh dari pusat kota dan minimnya transportasi, disana juga jauh dari pusat perbelanjaan dan keramaian. Mall, bioskop, hotel mewah, mana ada! Kalau pasar tradisional ada, itupun bukanya hanya 1 minggu sekali di pusat Kecamatan Maronggela yang jaraknya sekitar 7 km dari tempat tugas saya. Aliran listrik (PLN) disana juga belum masuk dan masih susah untuk mendapatkan air bersih. Air bersih hanya bisa didapatkan dari sumbernya yang ada di tengah sawah dengan jarak kurang lebih 150 meter dari asrama tempat tinggal saya. Sedangkan untuk penerangan baru menggunakan tenaga surya yang hanya digunakan untuk mengisi arus lampu "sehen". Ada juga yang menggunakan mesin generator/disel dengan bahan bakar solar/bensin yang hanya dinyalakan mulai pukul 19.00 – 22.00 WITA.
Satu lagi, tempat ibadah (masjid/mushola) disana tidak ada karena mayoritas penduduknya nonmuslim. Jadi, untuk bisa beribadah (sholat Jum’at) saya harus ke salah satu kampung yang ada orang muslimnya yaitu di Wate yang berjarak sekitar 10 km dari Tedhing. Kadang juga harus ke kota, alhamdulilahnya kepala sekolah selalu mengijinkan ketika saya meminta ijin di hari Jum’at (2 minggu sekali) untuk menunaikan ibadah. Saya akui, toleransi disana sangat tinggi dan itu yang membuat saya salut dengan masyarakat Tedhing pada khususnya. Selain itu, kekeluargaan mereka pun sangat kuat. Mereka ramah, baik, peduli, dan senang jika ada orang baru yang masuk kesana. Kita sering berbagi cerita dan pengalaman selama disana. Sambil duduk santai, disuguhi dengan kopi hitam, ubi, jagung, dan sambal menjadi ciri khas dikala kami sedang berbincang-bincang. Dusun inilah yang menjadi tempat pengabdian saya selama satu tahun (lima tahun yang lalu) menemani generasi emas yang masih terpendam.
SMP Negeri Satu Atap 1 Riung Barat adalah tempat dimana saya ditugaskan. SMP tersebut didirikan sejak tahun 2005 dengan fasilitas yang masih alakadarnya terdiri dari; 5 ruang kelas, 1 ruang guru, 1 ruang TU dan Kepala Sekolah. Perpustakaan masih satu ruangan dengan ruang guru sedangkan ruang penunjang lainnya masih belum ada. Ketersediaan tenaga pendidikpun ketika itu masih kurang, mungkin sekarang sudah terpenuhi dan semoga sarana parasarananya pun semakin bertambah.
Seperti tujuan awal kedatangan saya dengan mengikuti program SM-3T adalah untuk mengabdi dan memenuhi kebutuhan guru di daerah 3T, khususnya untuk mata pelajaran PPKn. Permasalahan klasik yang nampak pada siswa yang sekolah di daerah 3T adalah semangat belajarnya yang rendah. Tapi ada beberapa hal yang membuat saya salut terhadap mereka, yakni kerja kerasnya. Mereka tidak manja meski harus berjalan kaki sejauh 4-6 km dari rumah menuju sekolah, mereka tidak mengeluh meski setiap pagi hrus membawa 2 drigen air untuk mengisi bak kamar mandi siswa, mereka tidak menerima dan tidak mengadu meski seringkali ‘dipukul’ guru dengan rotan jika melakukan pelanggaran dan kesalahan, mereka tidak malu untuk terus belajar meski seringkali mendapatkan nilai rendah saat ujian, dan mereka selalu menghormati serta menuruti apa yang diperintahkan oleh gurunya.
Satu tahun saya ditempatkan di Tedhing, setahun itu pula saya belajar akan banyak hal. Belajar memahami alam, masyarakat, budaya, adat, pendidikan, dan kehidupan yang penuh dengan segala keterbatasan namun tetap bisa bertahan hidup dengan selalu berusaha serta mensyukuri apa yang ada. Apalagi ketika bersanding dengan murid-murid saya, ternyata keterbatasan fasilitas pendidikan yang dimiliki sekolah tidak mematahkan semangat mereka untuk terus berusaha meraih mimpi, untuk menggapai cita-cita, dan tetap mempertahankan serta memelihara rasa cinta terhadap Tanah Air Indonesia. Mereka hanya butuh sentuhan hangat dari tangan-tangan trampil yang tulus menemani belajar mereka di tengah kegelapan dan segala keterbatasan. Terimakasih SM-3T, satu tahun mengabdi sangat berarti. (MasAnggi/GGDKepri)
0 Response to "Kilas Balik (Pernah) Menjadi Guru Kontrak (SM-3T) di Pedalaman Flores"
Post a Comment