Oleh: Anggi Perdana, S.Pd.
(dok. pribadi) |
Setelah melewati tahapan seleksi yang meliputi seleksi administrasi, tes akademik (online di LPTK), dan wawancara, serta prakondisi selama 10 hari di AAU Adisucipto Yogyakarta, alhamdulilah akhirnya saya dinyatakan lolos dan berhak untuk mengikuti program SM-3T. Saya ditempatkan tugaskan di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara dengan ke-48 peserta lainnya, kemudian disebar lagi ke sekolah yang ada di pelosok desa. Setelah adanya pembagian tempat tugas di masing-masing sekolah, saya mendapatkan penempatan di SMP Negeri Satu Atap 1 Riung Barat yang ada di Dusun Tedhing, Desa Lanamai, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Menurut banyak orang yang ada di pusat kota Kabupaten Ngada mereka melabeli Tedhing sebagai dusun paling udik dan plosok. Tidak salah jika mereka menyatakan demikian, karena apa yang saya rasakan selama satu tahun disana memang demikian. Jarak dari pusat kota ke Tedhing sekitar 65 km, jika dengan menggunakan angkutan umum dapat ditempuh sekitar 5 jam perjalanan. Angkutan umum yang ada disana adalah “Otto” atau yang sering kita sebut di sini adalah mobil truk, dan jumlahnya hanya ada 2 (bentara dan sumber harapan). Selain itu, otto hanya beroperasi sekali jalan, keduanya beroperasi dalam waktu yang hampir bersamaan, berangkat menuju kota pukul 04.00 WITA, kembali ke Tedhing lagi pada pukul 20.00 WITA. Itupun tidak beroperasi setiap hari, melainkan hanya 5 kali beroperasi dalam 1 minggunya.
Selain lokasinya yang jauh dari pusat kota dan minimnya transportasi disana juga jauh dari pasar, jaraknya sekitar 7 km dari tempat penugasan saya dan bukanya hanya 1 minggu sekali. Jangan dibayangkan seperti di Jawa, jarak 7 km sudah bisa ditempuh dalam waktu 20 menit dengan menggunakan motor di jalan yang beraspal mulus. Lain halnya dengan disana, untuk bisa ke pasar diperlukan tenaga yang ekstra. Karena harus siap berdesak-desakan di dalam otto dan siap juga untuk berjalan kaki jika sudah tertinggal dan muatan otto sudah penuh. Selain itu kondisi jalan disana juga masih adregat yang jika musim hujan jalanan menjadi licin dan berlumpur.
Aliran listrik disana juga belum masuk dan masih susah untuk mendapatkan air bersih. Air bersih hanya bisa didapatkan dari sumbernya yang ada di tengah sawah dengan jarak kurang lebih 150 meter dari asrama tempat tinggal saya. Sedangkan untuk penerangan disana baru menggunakan tenaga surya yang hanya digunakan untuk mengisi arus lampu sehen untuk menerangi gelapnya malam. Ada juga yang menggunakan generator maupun disel dengan bahan bakar solar atau bensin yang hanya dinyalakan mulai dari pukul 19.00 – 22.00 WITA.
Satu lagi, tempat ibadah (masjid/mushola) disana tidak ada karena mayoritas penduduknya beragama Katolik. Jadi, untuk bisa beribadah (sholat Jum’at) saya harus ke kampung yang ada orang muslimnya yaitu di Wate dengan meminjam sepeda motor teman guru, jaraknya sekitar 10 km dari Tedhing. Dusun inilah yang menjadi tempat pengabdian saya selama satu tahun lalu, menemani generasi emas yang masih terpendam.
SMP Negeri Satu Atap 1 Riung Barat adalah tempat dimana saya ditugaskan, yang didirikan sejak tahun 2005. Fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran disana masih belum memadai, seperti ruangan kelas yang baru hanya ada 5 ruangan sedangkan jumlah siswanya setiap tahun mengalami peningkatan. Selain itu ruang penunjang lainnya juga masih belum ada, seperti perpustakaan, laboratorium, dan ruangan khusus untuk olahraga. Tidak hanya itu saja, disana juga masih kekurangan beberapa tenaga pendidik (guru) untuk mata pelajaran PPKN, Kesenian, Tikom, BK, dan IPA (Biologi).
Seperti tujuan awal kedatangan saya dengan mengikuti program SM-3T adalah untuk memenuhi kekurangan guru di daerah yang tergolong 3T, khususnya untuk mata pelajaran PPKn yang memang merupakan basic saya. Namun, karena masih belum adanya guru mata pelajaran Tikom akhirnya saya pun diberi tugas oleh kepala sekolah untuk mengajar Tikom sekaligus menjadi guru BK kelas VII dan VIII. Keberadaan saya di sekolah tentunya tidak hanya mengajar saja, tetapi juga membantu mengatasi beberapa masalah baik yang dihadapi oleh guru maupun pegawai tata usaha dalam urusan mengelola administrasi sekolah. Selain itu, saya juga diberi kepercayaan untuk mendampingi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka dan PBB.
Kurangnya sumber dan media pembelajaran semakin merangsang saya untuk bereksperimen menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa. Sesekali saya pernah memutarkan video pembelajaran yang ada kaitannya dengan materi yang sedang saya ajarkan. Hasilnya cukup memuaskan, mereka senang dengan metode yang saya terapkan dan alhamdulilah nilai raport untuk mata pelajaran PPKn khususnya kelas VII dan VIII pada semester 1 dan 2 mengalami peningkatan.
Selain itu juga ada hal lain yang membuat saya bangga, salah satunya adalah semangat belajar mereka yang begitu tinggi dan terus menyala. Saya salut saat mereka setiap pagi datang ke sekolah dengan jarak rumah yang cukup jauh sekitar 4 km bahkan ada yang jarak rumahnya 6 km dari sekolah mereka tempuh dengan berjalan kaki. Mereka mendaki bukit, melewati jalanan yang berbatu, melewati sawah dan semak belukar, ditambah lagi setiap paginya mereka diharuskan membawa 1 drigen berisi air untuk mengisi bak di kamar mandi sekolah yang memang tidak ada saluran airnya. Saya heran mereka tidak pernah mengeluh, bahkan mereka selalu tepat waktu tiba di sekolah. Satu hal lagi yang membuat saya bangga, mereka yang katanya sekolah di plosok negeri itu ternyata mempunyai jiwa nasionalisme yang sangat tinggi untuk bangsa ini. Hal itu saya dapati di setiap 10 menit sebelum jam pelajaran di mulai, mereka selalu melaksanakan apel bendera.
Satu tahun saya ditempatkan di Tedhing, setahun itu pula saya belajar akan banyak hal. Belajar memahami alam, masyarakat, budaya, adat, pendidikan, dan kehidupan yang penuh dengan segala keterbatasan namun tetap bisa bertahan hidup dengan selalu berusaha serta mensyukuri apa yang ada. Apalagi ketika bersanding dengan murid-murid saya di sekolah, ternyata keterbatasan fasilitas pendidikan yang dimiliki sekolah tidak mematahkan semangat mereka untuk terus berusaha meraih mimpi, untuk menggapai cita-cita, dan tetap mempertahankan serta memelihara rasa cinta terhadap Tanah Air Indonesia. Mereka hanya butuh sentuhan hangat dari tangan-tangan trampil yang tulus menemani belajar mereka di tengah kegelapan dan segala keterbatasan. Terimakasih SM-3T, satu tahun mengabdi pengalaman ini akan terkenang abadi.
0 Response to "Pengalaman Menjadi Guru di Daerah 3T Tak Ternilai Harganya!"
Post a Comment